Kecurigaan
ini sebenarnya sudah muncul sejak beberapa tahun lalu, waktu itu ada
curhatan dari beberapa orang baik dari pokja ulp atau dari pihak
penyedia yang sedang melaksanakan proses pemilihan penyedia. Kecurigaan
adanya kecurangan dalam pengaturan bandwith atau lebar pita jaringan
internet yang di setting untuk menerima unggahan dokumen penawaran dari
penyedia barang/jasa.
Modus atau modal dusta yang dilakukan adalah dengan memperbesar bandwidth ke server lpse tempat dilaksanakannya pengadaan barang jasa
pada waktu tertentu ketika penyedia ‘jagoan’ akan melakukan upload atau
unggah dokumen penawaran. Setelah jagoan nya selesai menunaikan
hajatnya yang terlarang karena melanggar prinsip dan etika pengadaan,
selanjutnya jalur bandwitdh dikurangi atau dikecilkan kembali.
Pengecilan banwidth atau lebar pita jaringan ke lpse ini mengakibatkan
penyedia penyedia lainnya ketika upload dokumen penawaran akan
‘berdesak desakan’, yang bisa beresiko pada tidak sempurna nya data
dokumen yang diterima oleh server lpse.
Akibat dari tidak sempurnanya proses
upload dokumen penawaran, ketika pokja ulp melakukan proses download
dokumen penawaran dan membukanya melalui apendo, maka akan terjadi
dokumen tidak dapat dibuka oleh aplikasi apendo, atau dokumen bisa di
buka tapi tidak semua data lengkap terupload. Langkah selanjutnya
tentunya pokja ulp akan meminta uji forensik ke lpse (layanan pengadaan
secara elektronik) atau LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah)
terhadap file yang gagal dibuka, sedangkan terhadap file yang bisa
dibuka namun isinya tidak lengkap sesuai dengan ketika upload, tentunya
pokja ulp tidak akan mau tahu dan menganggap dokumen penaran tidak
lengkap yang berujung pada pengguran penawaran.
Dokumen penawaran yang tidak bisa dibuka,
meskipun dilakukan forensik oleh lpse atau lkpp, biasa menghasilkan
hasil yang menyatakan bahwa memang dokumen begitu adanya alias gagal
upload, dari curhatan banyak pokja ulp dan pengalaman pribadi penulis,
ujung ujungnya pada pengguguran juga. Bahkan untuk pengadaan yang perlu
cepat, biasanya kita anggap gugur saja dahulu sambil nunggu hasil
forensik, so proses lelang dilanjut saja tanpa menunggu hasil forensik,
karena keyakinan besar hasil tidak akan jauh dari gagal upload dan
gugur. Tapi kalau hasilnya lain, tentunya masih bisa dikoreksi hasil
pemilihan penyedianya nanti. Maksimalnya sebelum kontrak hasil forensik
harus sudah ada.
Kecurangan dalam pengadaan melalui e-procurement ini sudah diendus juga oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha
yang menemukan modus curang baru yang dilakukan peserta tender lelang
proyek di instansi pemerintah, yaitu dengan mempermainkan kecepatan
penerimaan berkas syarat lelang dalam e-procurement.
" Pemasalah:
untuk sekarang sedang mulai digerakkan yg namanya sistem tender online menggunakan LPSE (bisa search di google tuk detailnya). Tapi beberap x mengikuti proses tender seperti ini, gk goal . alasan nya dokument tidak memenuhui syarat dan metode nya salah ..dengan rekanan laen, nah loh koq bisa? Menurut ane, sistem seperti malah lebih parah unsur KKNnya dengan sistem konvensional sebelumnya. Kenapa ane berani bilang begitu?
>> Proses unwising yg tidak transparan & waktu sangat2 terbatas
>> Pembukaan penawaran tertutup, rekanan tidak bisa tahu prosesnya apalagi public. Hal ini bs jd ajang KKN antar rekanan tertentu dgn panitia.
>> Masa sanggah sangat terbatas dan hanya bisa dilakukan secara online, dan jawabannya pasti belum finish alias ngambang. Bila ingin memperkarakan rutenya sangat ribet (bisa dibaca di panduan LPSE).
Kesimpulannya, tender di Pemda tuh adalah dunia abu2 hehehe.. klo cerita kaga kelar2. So klo penasaran cobain aja..
Beberapa janggal diduga
‘dimainkan’ oleh panitia lelang diantaranya ialah adanya syarat tenaga
ahli sebanyak lima hingga delapan orang. Padahal, lazimnya pada sebuah
tender pengadaan alat pendidikan, tidak perlu ada tenaga ahli sebanyak
itu. Sebab, tenaga ahli, telah ada dan melekat pada dinas terkait
kegiatan.
Sehingga, diduga hal tersebut
sengaja dilakukan oleh panitia lelang dan ‘komplotannya’, untuk
menyulitkan pengusaha yang tidak masuk dalam daftar disinyalir akan
dimenangkan.
“Ada kecenderungan menurun. Jumlah
investigasi dan jumlah laporan. Ini menjadi kekhawatiran kami sekaligus
kegembiraan kami,” kata dia.
Penurunan itu bisa diartikan pelaku usaha sudah sadar dan jera sehingga tidak lagi melakukan persengkokolan.
Siapa ya kira kira yang melakukan
pelanggaran terhadap prinsip pengadaan ini? Secara teknis operasionak
tentunya hal ini ada pada kekuasaan lpse, para admin dan operator di
lpse sangat tidak mungkin kalau tidak mengenali modus ini. Tinggal
dicari siapa aktor intelektualnya ya. Mangga KPPU, KPK atau LKPP
silahkan sama sama menyelidikinya ya… soalnya modus nih alias sudah
sering terjadi di lapangan, so tunggu apalagi… sikat aja bos
.

Artikel Terkait